Masihkah Kegiatan Pembukaan Lahan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan Tetap Dibiarkan?

Masihkah Kegiatan Pembukaan Lahan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan Tetap Dibiarkan? Oleh: Aster Fridolin Munthe Perkebunan kelapa sawit diharapkan dapat memberikan dampak positif untuk ekonomi, sosial dan lingkungan, baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Tanaman kelapa sawit yang berkelanjutan harus mampu membantu indonesia dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan tolok ukur pembangunan di dunia. Salah satu tujuan dari SDGs adalah mendorong pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus, inklusif dan berkelanjutan. Artinya, kehadiran komoditi perkebunan kelapa sawit di Indonesia harus dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi negara secara umum dan bagi petani sawit secara khusus. Saat ini, permasalahan yang acap kali terjadi pada komoditi tanaman perkebunan, eksklusifnya tanaman kelapa sawit adalah fluktuasi harga CPO (Crude Palm Oil) atau minyak kelapa sawit mentah yang terbilang cukup parah. Ketidakstabilan harga ini tentunya berdampak terhadap harga TBS (Tandan Buah Segar) kelapa sawit sehingga pada akhirnya akan berdampak juga terhadap ketidakstabilan ekonomi petani sawit rakyat. Hal ini dikatakan demikian karena harga CPO sejalan dengan harga TBS, sehingga ketika harga CPO merosot turun maka harga TBS juga demikian. Ketidakstabilan harga CPO periode bulan April-September 2019 dapat dilihat pada gambar grafik di bawah ini: Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa harga CPO bulan April – September 2019 masih fluktuatif dan sangat tidak stabil. Tentu hal ini menjadi sebuah pertanyaan, sebenarnya apa yang menjadi penyebab utama permasalahan fluktuasi harga ini bisa terjadi. Sebagai negara dengan penghasil CPO terbesar di dunia, tidak sepantasnya fluktuasi harga yang cukup parah ini terjadi di Indonesia. Mengutip KOMPAS.com, berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan), luas areal kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2019 mencapai 14,03 juta ha. Dirjen Perkebunan Kementan, Bambang mengatakan dari luas lahan tersebut sekitar 5 juta ha merupakan perkebunan sawit milik rakyat. Maka, dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah raja minyak kelapa sawit dunia. Hal ini menjadi bukti bahwa sebagian besar petani rakyat bergantung pada tanaman kelapa sawit. Seharusnya, seorang raja harus mampu menguasai, termasuk menguasai harga TBS. Namun, kenyataannya hingga saat ini harga TBS Indonesia seolah-olah masih didikte oleh pangsa pasar internasional. Selain itu, dewasa ini kegiatan land clearing (pembukaan lahan) yang tidak menggunakan sistem Zero Burning sangat berdampak terhadap kondisi lingkungan. Setiap individu ataupun perusahaan tidak lagi memikirkan dampak ke depan apabila pembukaan lahan dengan cara pembakaran dilakukan. Di Pulau Sumatera, lebih spesifiknya di Provinsi Riau, pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh asap sangat mengganggu aktivitas setiap masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tidak sedikit masrakyat yang terkena penyakit, seperti ISPA yang diakibatkan asap dari pembakaran lahan tersebut. Oknum terkait hanya memikirkan diri sendiri karena merasa usaha yang dilakukan tersebut adalah kepentingan pribadi. Bagaimana tidak, pembukaan lahan dengan cara Zero Burning memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar. Sementara pembukaan lahan dengan cara pembakaran lebih cepat dan tidak begitu mahal. Padahal, dampak yang ditimbulkan sangatlah berbahaya. Jika kegiatan pembukaan lahan ini masih terus dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan keberlanjutan kelapa sawit akan usai. Pemerintah atau institusi terkait harus menganalisis lebih baik terkait “kemerdekaan Indonesia” dengan kehadiran komoditi perkebunan kelapa sawit ini. Perlu disadari bahwa luas lahan kelapa sawit yang ada di Indonesia saat ini sudah sangat cukup untuk menstabilkan devisa negara. Tanah Indonesia sudah tidak perlu lagi dimanfaatkan untuk memperluas areal kebun sawit. Upaya pembukaa kelapa sawit yang berkelanjutan sudah saatnya dihentikan. Pemerintah sudah saatnya membuat suatu aturan mengenai “ambang batas” luas areal kebun sawit Indonesia. Ketika ambang batas ini sudah ditetapkan, maka: 1. Setiap pelaku ekonomi yang bergerak dalam komoditi perkebunan kelapa sawit akan terfokus pada peningkatan produktivitas, bukan lagi perluasan lahan, 2. Setiap lahan sawit yang sudah waktunya peremajaan (Replanting) dapat diremajakan dengan optimal, 3. Tidak ada lagi kampanye hitam mengenai pencemaran lingkungan, seperti asap yang membahayakan setiap manusia, dan 4. Tidak ada lagi fluktuasi harga yang parah, karena hasil produksi CPO akan lebih stabil. Saat ini, bukan saatnya sibuk membuka lahan hanya untuk berbudidaya kelapa sawit, karena yang dibutuhkan saat ini adalah peningkatan kualitas dan kuantitas hasil produksi agar dapat menstabilkan harga jual sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan pemerintah yang mengatur ambang batas luas areal kelapa sawit di Indonesia, sehingga setiap permasalahan yang seringkali timbul tidak terjadi lagi dan kelapa sawit Indonesia tetap berkelanjutan. Sumber: Jatmiko, Bambang Priyo (26 Februari 2018). Kementerian Pertanian: Lahan Sawit Indonesia Capai 14,03 Hektare. Kompas.com: https://ekonomi.kompas.com/read/2018/02/26/203000426/kementerian-pertanian--lahan-sawit-indonesia-capai-14-03-juta-hektare. Diakses pada 01 September 2019. Mohammad Ihsanurrozi, 2014. Perbandingan Jumlah Anak dari Mencit Betina yang Dikawinkan dengan Mencit Jantan yang Mendapat Perlakuan Jus Biji Pinang Muda dan Jus Daun Jati Belanda. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Belum ada Komentar untuk "Masihkah Kegiatan Pembukaan Lahan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan Tetap Dibiarkan?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel